watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

BONUS MANDI DISUMUR TUA

Saya Aidit kembali akan lanjutkan cerita saya
sebelumnya yang berjudul "Bonus Belajar
Bersama", karena banyaknya teman-teman yang
tertarik dan menanyakan mengenai kelanjutan
hubungan saya dengan si "Sari".
Berhubung Karena banyaknya teman-teman
yang penasaran ingin mengetahui hubungan

saya dengan Sari lebih jauh setelah peristiwa di di
atas selembar papan pada malam itu, maka demi
mengobati rasa penasaran teman-teman, tak ada
salahnya saya ceritakan, sebab memang
hubungan saya dengan Sari tidak berakhir sampai
di situ, melainkan justru meningkat. Entah berapa
kali saya berusaha untuk melakukan hubungan
badan dengan Sari, namun selalu gagal.
Saya dan si Sari sudah saling memahami dan
satu rahasia. Karenanya, selaku manusia normal
yang masih muda tentu saja tidak aneh jika kami
memiliki keinginan untuk mengulangi peristiwa
dahsyat yang luar biasa kenikmatannya itu.

Kecenderungan seperti itu adalah fitrah bagi setiap
manusai, di mana selalu ingin merasakan kembali
suatu kenikmatan yang telah dialaminya,
meskipun kesannya tentu jauh berbeda dengan
yang pertama kali.

*****

Singkat cerita, sekitar 4 hari dari kejadian yang
pertama itu, kami kembali sepakat sewaktu
berjalan bersama pada saat kami pulang dari
sekolah untuk bangun lebih pagi lagi dan kami
sepakat ketemu di sumur jam 4.00 wita. Namun,
Sari nampaknya tepat waktu, ia tiba di sumur tua
di tengah-tengah sawah yang pernah saya
sebutkan dalam episod cerita saya yang lalu,
sementara saya tiba di sumur itu jam 4.30 subuh
hari itu karena agak terlambat bangunnya.
Maklum saya tidur larut malam setelah tukar
pikiran di pos ronda bersama para tukan ronda di
kampung saya malam itu.
Awalnya Sari memang agak kesal menunggu
lama, bahkan ia telah selesai mandi, namun
masih mencuci beberapa lembar pakaiannya
yang sebenarnya belum terlalu kotor dan tidak
direncanakan akan dicuci, tapi hanya sekedar
alasan kalau-kalau ada warga yang kebetulan
mendapatinya sedang menunggu di sumur itu.

Tentu saja sebelum ia mengeluarkan kata-kata
kesalnya, saya segera mengucapkan permintaan
maaf atas keterlambatan saya.
"Mengucapkan maaf itu memang mudah, tapi
saya ini selain kedinginan juga malu kalau-kalau
ada orang lain melihat saya sendirian di sumur
pada subuh hari," katanya setelah saya minta
maaf padanya.
Untuk mengobati kekesalannya Sari itu, tanpa
aba-aba saya langsung memeluknya dan
mengecup sedikit pipinya, dalam hati saya biar ia
merasa lebih hangat. Saya tentu lebih berani
melakukan hal itu, karena saya sudah yakin ia
pasti senang dan tidak bakal menolak sebab kami
telah melakukan di rumahnya lebih dari sekedar
memeluk tubuhnya yang langsing itu. Ia pun
pasrah tanpa reaksi apa-apa merasakan
hangatnya pelukan saya itu, mungkin dia masih
agak malu-malu membalas pelukanku, maklum
sikap seperti itu sudah merupakan fitrah bagi
setiap wanita, apalagi dia masih gadis.

Pelukan
saya itu tidak berlangsung lama karena dia
nampaknya agak minder, sehingga tidak berani
memberikan reaksi yang sama.
Setelah saya lepaskan pelukan itu, dia pun
beranjak duduk di pebukitan pinggir sumur dan
saya segera menuju sumur buat mandi dan
langsung melepas semua pakaian saya tanpa
selembarpun tersisa di badan saya, lalu
menyiramkan air ke seluruh tubuh saya tanpa
peduli bahwa secara diam-diam si Sari terus
memperhatikanku. Sikap Sari itu sebenarnya saya
sadari, tapi saya pura-pura tidak
memperhatikannya dan membiarkan saja
menikmati pemandangan yang ada pada
tubuhku, lagi pula kan kami sudah saling
mencintai dan tidak mustahil juga dia merindukan
untuk kembali menikmati peristiwa di atas
selembar papan di rumahnya itu.
Ketika saya sedang mandi, nampaknya diam-
diam ia memperhatikanku, maka saya sengaja
menggocok-gocok penis saya dengan sabun
agak lama tanpa menoleh sedikitpun padanya,
biar ia puas memandanginya tanpa perasaan
malu dari saya. Saking asiknya dia memandangi
alat vitalku yang saya gocok terus itu, sehingga
tanpa kami sadari ternyata di belakang Sari ada
wanita setengah baya berdiri memperhatikan
sikap kami berdua sejak tadi, bahkan ikut
menyaksikan dan menikmati tontonan menarik
yang saya peragakan di tepi sumur itu.

Ternyata
yang berdiri itu adalah Mamanya Sari (tak perlu
saya sebutkan namanya) yang menyusul anak
pertamanya itu ke sumur karena takut terjadi apa-
apa pada diri Sari. Apalagi baru kali ini Sari terlalu
pagi ke sumur dan agak kelamaan pulangnya,
sehingga tentu saja sebagai orang tua yang
menyayangi anaknya ia segera saja
menyusulnya.
Belakangan baru saya ketahui bahwa Mamanya
Sari itu belum pernah menyaksikan secara jelas
sebelumnya pemandangan seperti yang saya
peragakan di pinggir sumur itu, bukan hanya aksi
saya tapi juga barang berharga yang tergantung
di selangkangan saya, sebab ternyata setiap ia
bersetubuh dengan suaminya selalu dalam
keadaan tertutup pakaian tanpa ada rangsangan
pendahuluan, dan itupun dilakukannya rata-rata
pada tengah malam setelah anak-anaknya diyakini
pada tidur nyenyak semua.

Ketika saya sadar bahwa Mamanya Sari sejak tadi
berdiri menyaksikan sikap kami, saya segera
meraih sarung yang letaknya tidak jauh dari
tempat saya berdiri, lalu segera membalutkan ke
tubuh saya yang bugil itu, dan berusaha
secepatnya pergi meninggalkan Sari yang berdiri
bersama Mamanya sekitar 2 meter dari pinggir
sumur itu. Saya sama sekali tidak mampu
mengeluarkan suara sedikitpun, mulut saya tiba-
tiba seolah terkunci dan demikian pula halnya si
Sari yang hanya berdiri agak gemetaran di
samping Mamanya itu.. Ia tak mampu
melangkahkan kaki, apalagi berbicara.
Ketika saya bergegas pulang dan melangkah
sekitar 7 m dari tempat Sari dan Mamanya
berdiri, tiba-tiba.

"Aidit.., koe jolo iko..! (sini dulu kamu..!)" demikian
bentakan Mama si Sari pada saya dalam bahasa
daerah kami.
Suaranya lantang, keras dan runcing sekali
membuatku tersentak dan takut sekali jika ia
marah dan melaporkan kejadian ini pada
suaminya, orang tuaku, warga kampung dan..
Pokoknya rasa takutku luar biasa pada waktu itu
melebihi rasa takutku pada orang tuaku sendiri
ketika beliau marah padaku. Suaranya keras
bagaikan petir dan seteron yang menyengat
sekujur tubuhku. Mukanya merah kehitaman
seperti orang habis dipukul dan ingin balas
dendam.

Tanpa suara sedikitpun, saya pelan-pelan
mendekatinya dan pasrah menerima segala
hukuman yang akan dijatuhkan atas sikap kami
berdua tadi, yang kurang senono menurut
pandangan masyarakat di kampungku.
"Tongentongeng pada ikotu massifa olok-oloko,
asu..! (Kalian ini betul-betul bersifat binatang,
anjing..!)".
Kata ibunya Sari lebih lanjut setelah saya berada
sekitar 2 m di depannya sambil menunjuk muka
saya.
"Addampengakka puang, tappasalaka kasi,
(maafkan kami bu, kami khilaf)".
Begitulah kata-kata saya di depannya dengan
bahasa daerah yang sama sambil sedikit
berbungkuk sebagai tanda kesopanan dan
penghargaan saya padanya.
"Maupe'ko tu ia bawang mitako, tania tahu
laingnge, magani kira-kira nakko engka tahu lain
mitako atau missengngi gaunu nye, apalagi
bafa'nu, naulle kafang nauno manekko"
peringatannya lebih lanjut seolah menasehatiku.

Maksudnya bahwa "Untung hanya saya yang
melihatmu atau mengetahuimu, tidak ada orang
lain, kira-kira apa jadinya jika ada orang lain yang
melihat dan mengetahuimu, apalagi bapakmu,
mungkin ia membunuh kalian".
Suara dan warna mukanya mulai sedikit normal.
Setelah itu, saya disuruh pulang dengan cepat
agar saya tidak terlambat ke sekolah, apalagi
sudah mulai berdatangan warga untuk ambil air
di sumur itu yang menunjukkan bahwa hari
sudah mulai siang, nampak pula matahari di ufuk
Timur memancarkan sinarnya. Saya sedikit lega
karena kemarahan Mamanya Sari agak menurun,
bahkan nampaknya ia dapat merahasiakannya
dan tidak memberi ancaman hukuman apa-apa
pada kami. Sayapun segera berlari pulang hingga
sampai di rumah, sedang Sari berjalan bersama
Mamanya.

"Dit.., kenapa kamu terlambat pulang dari sumur
nak, cepat-cepatlah, nanti kamu terlambat di
sekolah, sehingga kamu dimarahi oleh gurumu)".
Hanya itulah kata-kata Mamaku dari dapur setelah
saya tiba di rumah dengan menggunakan bahasa
daerah.
"Terlalu banyak orang mau ambil air di sumur,
sehingga terpaksa kita antri" hanya itu jawaban
saya pada Mamaku sedikit berbohong.
Lalu tanpa sempat sarapan pagi, saya langsung
meraih buku pelajaranku dan segera pamit
meninggalkan rumah sambil sedikit berlari tanpa
menunggu lagi Sari, agar aku tidak terlalu
ketinggalan mengikuti materi pelajaran jam
pertama di sekolah.

Sesampai di sekolah, sayapun langsung masuk
ke kelasku dan duduk di tempat yang biasanya
saya duduki karena memang sedang kosong.
"Kenapa kamu terlambat, dari pasar lagi yeah?"
tanya ketua kelasku yang kebetulan duduk
berdampingan denganku.
Mendengar pertanyaan temanku itu, saya lalu
menjawab dengan sedikit berbohong, "Yah, tapi
kan belum juga kita belajar".
Kebetulan saya dengan ketua kelasku sangat
akrab, sehingga ia tak tega melaporkan hal ini
pada guru, apalagi dia pun juga sering terlambat
jika hari pasar. Kebetulan jarak antara sekolah
kami dengan pasar kecamatan hanya sekitar 100
m. Mendengar ucapan saya itu, spontan
terdengar suara tawa dari beberapa teman yang
duduk di sekitarku. Ternyata saya yang
ditertawakan karena baru saya tahu kalau
pelajaran pertama hari itu baru saja selesai sekitar
3 m yang lalu setelah ketua kelasku menunjukkan
jam tangan yang dikenakannya, ternyata sudah
jam 9.00. Mereka semua pada menunggu guru
yang akan mengajar pada jam kedua.
Untung keterlambatanku tidak ada yang berani
melaporkannya pada kepala sekolah atau pada
guru lainnya, apalagi antara saya dengan ketua
kelas sudah saling pengertian, boleh dikata satu
rahasia. Walaupun saya dengan tenang mengikuti
materi-materi pelajaran pada hari itu hingga akhir
pelajaran, namun pikiran saya tak pernah
terkonsentrasi pada materi, melainkan pikiran
saya selalu tertuju pada peristiwa di sumur tadi
pagi. Yang selalu menghantui saya adalah apakah
perbuatan saya dengan Sari tadi tidak akan
diketahui orang lain kecuali Mamanya si Sari saja?
akankah hal ini tidak sampai dilaporkan dan
diketahui bapaknya Sari? dan apakah Sari masih
mau dan masih dibiarkan jalan bersama dengan
saya seperti pada hari-hari sebelumnya? Hanya
itulah yang selalu membayangi pikiranku dalam
perjalanan pulang dari sekolah.
Hari itu saya berjalan sendirian pulang dan tidak
berusaha menunggu si Sari dari sekolahnya
seperti pada hari-hari sebelumnya, sebab
mungkin ia malu ketemu saya setelah ia dimarahi
oleh Mamanya di depan saya ketika di sumur itu
atau dilarang oleh Mamanya pergi ke sekolah,
apalagi ketemu dan berjalan bersama dengan
saya, serta berbagai macam dugaan pertanyaan
yang muncul di pikiran saya mengenai keadaan
Sari setelah kejadian tadi subuh itu di sumur.
Hingga saya tiba di rumah, pikiran saya tidak
pernah konsentrasi pada pelajaran di sekolah,
keadaan di perjalanan dan makanan yang ada di
rumah, bahkan selera makanku tiba-tiba
berkurang setelah sebelumnya saya selalu makan
dengan nikmat sekali akibat jauhnya perjalanan
yang saya tempuh pulang balik antara rumah dan
sekolah saya.
Sudah 3 hari setelah kejadian itu saya tidak
ketemu Sari, hingga pada hari keempat dari
kejadian itu, saya penasaran ingin ketemu Sari
untuk menanyakan keadaan dirinya yang
sebenarnya setelah kejadian itu, sehingga saya
coba bangun agak lebih awal dari biasanya agar
bisa saya ketemu di sumur seperti biasanya siapa
tahu dia selalu ke sumur lebih pagi. Pagi itu, saya
tiba di sumur itu kurang 3 m jam 4.00 subuh
menunggu kedatangan Sari. Tapi hingga jam 4.15
m ia belum juga datang. Dalam hati saya
mungkin ia selalu datang ke sumur agak
terlambat dari biasanya. Karena itu, walaupun
saya selesai mandi, namun saya berniat mencoba
menunggunya sampai jam 4.30, jika ia tidak
datang juga, saya harus pulang biar besoknya
lagi saya coba ke sumur agak terlambat lagi, siapa
tahu bisa ketemu.

Baru saja saya mau duduk di pebukitan di sekitar
sumur itu untuk menunggu datangnya Sari, tiba-
tiba terdengar suara tidak jauh dari belakangku.
"Kamu Aidit, apa yang kamu tunggu di situ,
kamu tunggu lagi Sari yah, kamu mau
peraktekkan lagi, betul-betul kamu tidak kapok
yah".
Kagetnya aku bukan main setelah mendengar
suara itu dengan bahasa daerah tulen, ternyata
datangnya dari Mamanya Sari. Belum saya
sempat bicara dan menjawab pertanyaan
Mamanya Sari itu, tiba-tiba ia memegang bahu
kiriku dan menyatakan (semua kata-kata yang
diucapkan Mamanya Sari selalu dengan bahasa
daerah Bugis, tapi saya tak perlu mengutip
semuanya dalam cerita ini).


"Sejak saya ketahui perbuatanmu dengan Sari
waktu itu, saya melarang lagi Sari bertemu
denganmu, apalagi bergaul/bersamamu, jadi
sabar saja sebab terlanjut kuketahui
perbuatanmu, untung saja saya tidak lapor sama
bapaknya".
Itulah kata-kata yang disampaikan Mamanya Sari
pada saya ketika ketemu di sumur itu. Hati kecilku
berkata ternyata betul dugaanku, Sari dilarang lagi
oleh Mamanya bergaul dan jalan bersama
denganku. Bahkan baru kali itu saya tahu dari
Mamanya Sari jika Sari (anaknya) tidak pernah
masuk sekolah dan tak pernah lagi ke sumur itu,
karena Mamanya melarangnya kecuali ditemani
oleh Mamanya atau adiknya. Mungkin karena rasa
malu atau jengkel sama Mamanya sehingga Sari
mandi dan mencuci di sumur lain yang tidak
terlalu jauh dari rumahnya, meskipun airnya
kurang bagus dan sering kering. Si Sari menurut
Mamanya selalu murung dan lebih banyak dalam
kamar dengan alasan sakit, sehingga ia dan
suaminya tidak mau memaksa anaknya itu ke
sekolah, meskipun Mamanya sendiri tahu jika hal
itu hanya alasan semata, tapi tetap ia memaklumi
perasaannya.

Setelah Mamanya Sari mengutarakan keadaan
Sari pada saya dengan suara agak lembut dari
sebelumnya, iapun lalu berkata.
"Sebenarnya saya tidak melarang kamu dit,
bermain-main seperti yang kamu lakukan tempo
hari di sumur ini, tapi jangan di depan anak saya
Sari, sebab ia masih anak gadis yang tidak tahu
apa-apa, nanti urusan sekolahnya terganggu. Jika
kamu benar-benar mau begitu, kan banyak
perempuan lain yang menyukai hal seperti itu.
Saya sendiri sudah tua, tapi masih senang
dengan hal seperti itu. Suamiku tidak pernah
memperlihatkan penisnya pada saya seperti yang
pernah kamu perlihatkan pada anakku Sari di
sumur ini. Padahal sudah lama saya ingin sekali
melihat secara jelas, tapi tak pernah ia mau dan
saya pun tak pernah meminta ia telanjang bulat
sebab saya malu dan takut meminta atau
menyuruh ia lakukan di depanku. Nanti ia
menyangka aku ini macam-macam atau hiper
sex".

Alangkah bahagianya dan mengherankan saya
ketika mendengar kata-kata polos dari Mamanya
Sari itu. Apalagi ketika ia berterus terang pada
saya bahwa,
"Saya pun sebenarnya tidak pernah berani dan
diminta oleh suami saya untuk telanjang bulat di
depannya sekalipun kami sudah mau kerjakan
perbuatan itu yakni bersetubuh atau
bersenggama. Kalau suamiku mau menggauliku,
ia tak pernah banyak bicara, banyak tingkah dan
tak pernah meremas-remas tetekku atau
vaginaku. Ia langsung saja bangun, lalu duduk,
lalu mengangkat sedikit sarungku, lalu ia tarik
kebawah rok dan celanaku. Pada saat seperti itu,
saya sudah ngerti maunya, lalu saya
renggangkan sedikit kedua pahaku, kutarik sedikit
kedua bibir kemaluanku, lalu ia masukkan
penisnya, sebab sebelum bangun biasanya
penisnya sudah berdiri lalu bangun langsung
mengangkangiku. Kedua tangannya ditellakkan di
samping kiri kanan sebagai penyanggah, lalu ia
dorong bolak balik penisnya hingga amblas
seluruhnya."
Mamanya Sari cerita panjang lebar padaku,
katanya, "Ketika suami saya sudah masukkan
penisnya ke dalam vagina saya, saya hanya
membantu menggerak-gerakkan pinggul saya
supaya amblas seluruhnya, jika perlu dengan biji
plernya sekalian biar lebih nikmat rasanya ha.. Ha.
Saya rasanya bahkan takut dan malu mengajak
lebih dulu senggama meskipun sebenarnya saya
sudah ingin sekali. Apalagi telanjang bulat tanpa
permintaannya. Jadi hingga keluar sperma dari
penisnya, tak pernah sama sekali merobah posisi
atau gerakannya. Tak pernah ia mencium susu,
pipi, bibir, kemaluan atau kelentitku seperti yang
sering saya dengar dalam cerita orang-orang
yang biasa nonton film porno dari vCD". Cerita
Mamanya Sari pada saya dekat sumur yang
merangsang saya.

Cerita terus terang dan panjang lebar itu,
mungkin disengaja oleh Mamanya Sari karena
ada maksud lainnya pada saya, tapi yang jelas ia
kelihatannya agak kesal atas kepasifan suaminya
dalam bersetubuh, sehingga ia seolah-olah ingin
menikmati lebih daripada itu, misalnya
dirangsang lebih dahulu atau diperlihatkan segala
alat vital suaminya, seperti yang ia lihat pada saya
tempo hari. Ia nampanya ada keinginan
praktekkan cerita porno yang sering ia dengar
dari teman pergaulannya, sebab ia sendiri belum
pernah menyaksikan langsung adegan sex dalam
film atau membaca cerita porno. Ia hanya dengar
dari orang lain bahwa banyak posisi dan model
gerakan sex yang dapat dilakukan dan rasanya
lebih nikmat dari pada posisi biasa yang ia kenal
dan sering lakukan.

Setelah membeberkan pengalamannya dengan
suaminya, Mamanya Saripun berbegas ke sumur
untuk mandi sambil berkata,
"Tunggu saya dulu yah, nanti kita sama-sama
pulang" ucapannya sambil berjalan ke pinggir
sumur.
Spontan saja belum sampai di tempat cucian
pinggir sumur, ia sudah buka sarung dan
bajunya, sehingga dari belakang saya sempat
melihat kait BH-nya dan CDnya yang warna
kuning.
"Dasar perempuan penasaran" (dalam kati saya).
Sesaat setelah itu, ia sudah bugil, sebab memang
ia tidak pakai rok dan baju dalam, namun kali ini
baru terlihat dari belakang. Tapi berselang
beberapa detik saja, ia sudah menyiram seluruh
tubuhnya yang polos itu dengan air. Saya sempat
terperangah dan tersentak sejenak ketika ia
berbalik ke arah saya, apalagi saya berdiri tak jauh
dari tempatnya mandi, sehingga susu dan
putingnya yang menantang serta gundukan yang
ada di selengkangannya terlihat dengan jelas
sekali.

Jantung saya berdebar ingin menyaksikan
pemandangan itu lebih lama, bahkan
memegangnya sekalian, tapi ada rasa malu dan
takut dalam hati saya, sehingga saya mencoba
untuk terus terpaku di situ. Susu dan putingnya
yang tidak jauh beda dengan milik Sari, mungkin
karena baru dua anaknya yang pernah mengisap
dan itupun sudah lama sekali, sementara
bapaknya memegangpun jarang, apalagi
menjilatinya, sehingga wajar jika masih indah,
montok dan menantang. Hanya yang kurang
wajar bagi saya adalah gundukan yang ada di
selangkangannya, ternyata bersih, agak
mengkilap seolah belum pernah melahirkan,
bahkan tak satupun bulu-bulu yang tumbuh di
atasnya. Padahal menurut perkiraan saya usianya
sudah di atas 40 th. Umumnya orang
mengatakan bahwa rata-rata kemaluan orangtua
setengah baya ditumbuhi bulu yang agak lebat,
sedang kemaluan Mamanya Sari justru gundul
dan tidak ada bekas dicukur.

Keadaan alat sensitif Mamanya Sari saya ketahui
setelah ia tiba-tiba memanggilku, "Dit, ke sini dulu,
bantu saya gosokkan dengan sabun pada bokong
saya sebab tangan saya tak sampai."
Dia memanggilku sambil sedikit melambaikan
tangannya ke arah saya. Tentu saja walaupun
diselingi rasa takut bercampur malu, tapi sebagai
pria normal yang pernah dan ingin menikmati
keindahan tubuh wanita, saya harus lebih
memberanikan diri dan membuang jauh-jauh
rasa takut dan malu agar kesempatan emas ini
dapat saya nikmati. Segera saja saya lebih dekat
dan meraih sabun dari tangannya, lalu pelan tapi
pasti saya coba sentuh bokongnya dan
menggosoknya dengan sabun sampai bersih.

Dalam hati kecil saya sudah yakin jika Mamanya
Sari justru mau menikmati barang saya yang
telah disaksikan tempo hari, apalagi setelah saya
kaitkan dengan ceritanya tadi dengan suaminya
yang seolah kurang puas bersetubuh dengannya,
maka tidak ada lagi rencana lain kecuali ingin
menjadikan aku sebagai pemuas nafsunya.
Setelah beberapa menit saya gosok-gosokkan
tangan saya di daerah belakan, kini tiba-tiba ia
berbalik menghadap ke arah saya sehingga tanpa
sengaja tangan saya bersentuhan sedikit dengan
payudaranya. Iapun kelihatannya merinding dan
merasa nikmat atas sentuhan tangan saya, dan
saya langsung.
"Maafkan saya bu, saya tak sengaja" kata saya
pada Mamanya Sari saat menyentuh susunya
tanpa sengaja.
"Mmm.., Tak apa-apa, jika perlu kamu boleh
pegang, remas, cium dan isap putingnya" itulah
yang sempat diucapkannya sambil menarik
tangan saya ke arah teteknya, sehingga tanpa
perintah sayapun memegang dan meremasnya
sedikit.

Bahkan kali ini ia telanjangi aku dengan menarik
sarung saya ke atas hingga keluar lewat kepalaku,
selanjutnya ia tarik celana dalam saya ke bawah
hingga lepas, sehingga saya dalam keadaan bugil
seperti dirinya. Sungguh luar biasa kenikmatan
dan kebahagiaan di subuh hari ini, ternyata
impian saya untuk menikmati tubuh Sari jatuh
pada tubuh Mamanya yang tak jauh beda bentuk
dan segalanya.
Mula-mula berjalan agak pelan dan lembut
remasan tangan saya atas kedua payudaranya,
namun karena terdengar bisikannya
"Cepat-cepatlah dit.. Nanti ada orang ke sumur ini
dan ia mendapati kita, pasti ia bunuh kita, isaplah
cepat puting susuku" begitulah kata-katanya
sambil menarik kepala saya lebih rapat lagi ke
teteknya, bahkan tangannya juga sudah mulai
berani memegang dan mengocok penis saya
sehingga sayapun merasa kenikmatan.
Napas kami saling buruh, hingga "sstt.. Aaahh..
Mmm.. Nnn.. Ohh.. " itulah suara yang terdengar
dari mulutnya di kesunyian subuh itu menambah
indahnya untaian burunhg di atas pohon yang
sudah mulai ramai kedengaran karena memang
sudah menjelang pagi.

Saya merasa tak lama lagi para warga akan
berdatangan mengambil air di sumur itu,
sehingga kami tambah mempercepat aksinya.
Tanpa ia minta dan perintahkan, saya segera
menurunkan kepala ke selangkangannya ingin
juga rasanya menikmati vaginanya yang bersih,
indah, gundul dan montok itu lewat mulut saya.

Sesaat setelah itu, maka saya dengan cepatnya
pun menjulurkan lidah saya ke lubangnya setelah
saya sedikit membuka kedua bibir kemaluannya
dengan kedua tangan saya setelah
merenggangkan kedua pahanya karena ia masih
dalam keadaan berdiri. Setelah terasa lidahku
masuk ke lubang vaginanya, maka saya gerak-
gerakkan biar dia menikmatinya dan tidak
penasaran lagi seperti ceritanya tadi. Ternyata
tindakanku itu tidak sia-sia sebab nampak dari
rintihannya, ia sungguh menikmati gesekan kiri
kanan atas bawah maju mundur lidah saya.

Mungkin karena saking nikmatnya, maka ia tak
tahan berdiri, ia segera jongkok, lalu mencari
tempat duduk di atas batu yang ada dibibir
sumur, sehingga saya lebih leluasa menjilati
vagina dan kelentitnya, kadang saya gigit-gigit
kecil sehingga pinggulnya maju mundur tanpa
disengaja.
Setelah saya puas menjilati vagina dan kelentitnya
serta saya yakin ia betul-betul puas
menikmatinya, saya pun coba angkat pantatnya
dan menurunkannya ke lantai tempat cucian
sumur karena sejak tadi saya ingin sekali
menembus vaginanya dengan penis saya. Baru
saya berlutut di antara kedua pahanya yang
berdiri, ia tiba-tiba jongkok sehingga kelihatan
warna lubang vaginanya yang agak kemerahan
yang di tengahnya tertancap suatu daging
menumpang kecil dan bulat.

Ia segera meraih penis saya, lalu dikulumnya
secara keras dan cepat seolah ingin memuaskan
aku lebih cepat, apalagi kicauan burung sudah
lebih ramai kedengaran sebagai tanda bahwa hari
sudah menjelang pagi. Tak lama lagi warga akan
berdatangan ke sumur itu, maka tak lama
kemudian iapun segera mengakhiri kulumannya
pada penis saya, lalu berbaring di lantai cucian
dan menyanggah kepalanya dengan batu yang
ada di pinggir sumur, lalu merenggangkan sedikit
kedua pahanya, sebagai isyarat saya harus cepat-
cepat memasukkan penis saya ke vaginanya
yang dari tadi
Sesudah itu, sayapun segera berlutut di antara
kedua pahanya, lalu sedikit demi sedikit
mendorong penis saya kedepan hingga ujungnya
terasa tertancap pada salah satu lubang yang
menang menganga dan menunggu
kehadirannya. Pada mulanya terasa agak sulit
masuknya, sehingga sejenak ujungnya bertahan
pada lubang bagian luar vaginanya, namun
setelah berkali-kali saya gerakkan, ke kiri, ke
kanan, maju, mundur, akhirnya amblas juga.
Mulailah aku maju mundur dan gerakkan dengan
cepat penis saya, sehingga kedengaran bunyi.

"Blak.. Blakk.. Decak.. Decik.. " seirama dengan
kicauan burung di atas pohon.

Mamanya Sari hanya bisa mendesis seperti
seekor ular yang mau mematuk, "sstt, ahh, mm..
Eeenakknya, ceepat dit" begitulah suaranya yang
bisa keluar dari mulutnya hingga saya
membalikkan tubuhnya dan saya tinggal di
bawah. Iapun mengerti apa keinginan saya, dan
langsung saja ia naik turunkan pinggulnya seperti
orang naik motor di atas jalanan yang penuh
dengan batu besar.

Kami secara bersamaan mengeluarkan suara-
suara yang tidak pernah berobah, "Aaahh..
Mmm.. Ssstt.. Aduuhh.. Ennaakk" begitulah
berkali-kali suara kami.
Akhirnya tanpa aba-aba dan komentar, terasa ia
mengejang-ngejang dan kepalanya kelihatan
mulai kekiri dan kekanan, hingga ia menindis aku
lebih keras dan menggigit bibirku agak keras serta
merangkulku sebagai tanda ia telah mencapai
puncak kenikmatan atau orgasme. Sedang saya
baru terasa mulai berjalan keujung penis saya,
sehingga saya harus tetap menarik dan
mendorong pinggulnya agar penis saya tetap
amblas dalam vaginanya. Bahkan ketika terasa
cairan hangan mulai memaksa keluar, saya
kembali merangkul erat, dan mengisap bibir serta
menggigitnya juga, sehingga sperma saya keluar
dalam keadaan penis saya tertancap di vaginanya
atau memuntahkan dalam vaginanya. Dalam hati
saya tidak ada masalah, sebab ia sudah muncrat
duluan, sehingga pembuahan atau kehamilan
kemungkiannya kecil, karena tidak bersamaan.

Mamanya Sari betul-betul menikmati permainan
saya ini, karena saya dapat merasakan isyarat dari
eratnya rangkulannya seolah tidak membiarkan
aku menarik penisku keluar dan nampaknya ia
ingin sekali menikmati puncaknya persetubuhan
denganku. Karena itu, aku tidak tega memaksakan
kehendak menarik penis saya keluar tanpa
seizinnya, sehingga kami tetap berpelukan
beberapa menit walaupun kami sama-sama telah
mencapai puncaknya.
Setelah beberapa menit kami sama-sama
merasakan puncak kenikmatan, tanpa banyak
basa basi dan menunggu terlalu lama lagi,
kamipun segera bangkit dan sama-sama mandi
kembali tanpa harus pakai sabun lagi. Lalu
kamipun meninggalkan sumur itu, setelah
kedengaran dari jauh mulai ada suara manusia
yang makin lama makin dekat. Mungkin suara
warga yang akan mengambil air di sumur itu.

Tentu saja kami tidak jalan bareng, sebab takut
orang yang melihat kami salah sangka, meskipun
sangkaan mereka benar adanya. Yach dasar akal
busuk manusia yang telah melakukan
pelanggaran. Kami memilih jalanan yang berbeda
dan menghindar berpapasan dengan orang yang
datang ke sumur itu.
Sebelum kami betul-betul terpisah, saya sempat
berkata, "Terima kasih Bu atas pertolongannya
padaku, baru kali ini saya merasakan kenikmatan
yang sebenarnya".
Mendengar ucapan terima kasihku itu, iapun
bergegas berkata, "Terimah kasihku lebih besar
lagi, karena walaupun saya sudah beberapa kali
melakukan senggama dengan suamiku, tapi
belum pernah saya rasakan kenikmatan sepertri
ini, maukah kamu membantuku lagi atau
memuaskanku lagi? Kalau perlu kita harus selalu
pagi-pagi ke sumur siapa tahu kita dapat
kesempatan melakukannya lagi, nikmat sekali
khan, mau khan Aidit?". Itulah kata-kata terakhir
yang diucapkan Mamanya Sari padaku di pagi itu
sebelum kami berpisah.

Tentu saja kami saling senang dan meng-iyakan
bahkan saling mencium pipi sebagai tanda kasih
sayang, apalagi kami telah saling memberikan
kepuasakan yang luar biasa, yang tidak berbeda
nikmatnya sewaktu saya bersetubuh dengan Sari
anaknya sendiri di bawa meja, hanya kesannya
yang berbeda. Sebab satu dilakukan di bawah
meja dan satu lagi dilakukan di lantai cucian
sumur. Betul-betul kenikmtana di balik lantau
cucian sumur tua.

*****

Kisah saya bersama Mamanya Sari ini masih
terus berlanjut, bukan sampai di situ, tapi selain di
Lantai Cucian sumur tua di tengah sawah itu, juga
kami beberapa kali melakukannya di rumahnya
ketika suaminya tidak ada di rumah, bahkan
pernah kami lakukan di depan ranjang tempat
tidurnya ketika suaminya dalam keadaan tidur
nyenyak di atas ranjangnya, sehingga mudah-
mudahan di kesempatan lain, saya dapat
menyambung lagi kisah nyata ini dengan
peristiwa kami yang lebih seru, berkesan dan
dapat merangsang teman-teman Ok...


Adult | GO HOME | Exit
1/4209
U-ON

inc Powered by Xtgem.com